Sumber Agama & Ajaran Agama Islam
Nama : Afifah Purwati Ningrum
NPM : 10117232
Jurusan : Sistem Informasi
Kelas : 1KA19
Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam
Subpokok Bahasan : Sumber Agama & Ajaran Agama
Islam
Materi :
Ijtihad
Dalam sebuah Hadis
dikisahkan, bahwa Nabi Muhammad saw melakukan uji kelayakan dan kepatutan
semacam fit and proper tes terhadap seorang sahabat yang akan diangkat
sebagai gubernur di Yaman: yang artinya : Diriwayatkan dari al-Harits bin Amr,
bahwa Rasulullah s.a.w. mengutus Muadz ke Yaman. Beliau bertanya, “Bagaimana
kamu mengambil dasar hukum di sana/Yaman) ? “ Muadz menjawab “ Aku akan
menghukumi perkara dengan apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur’an), “
Jika di Kitabullah, hukum tersebut tidak ada ?
tanya beliau lagi. “Aku akan menghukuminya dengan apa yang terdapat di
dalam Sunnah Rasulullah saw. Jika di Sunnah Rasulullah, hukum itu tidak ada
? Muadz kembali menjawab, “ Aku akan
berijtihad dengan pikiranku, “ maka beliaupun berkata, “ Segala puji bagi Allah
yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah saw.“ (H.R.al-Tirmidzi,
no:1249, Abu Dawud, no. 3119, dan Ahmad : 21000).
Mengambil hikmah
atau intisari dari dialog yang terjadi antara Rasulullah s.a.w. dengan Muadz bi
Jabbal r.a, tersebut, saya akan menjelaskan materi tentang pengertian ijtihad.
Pengertian
Ijtihad/Rakyu
Al-ra’yu artinya
penglihatan yang berasal dari kata ra`a
(melihat). Akan tetapi yang dimaksud dengan penglihatan di sini bukanlah
penglihatan mata, melainkan penglihatan akal. Al-ra`yu merupakan hasil
suatu proses yang terjadi pada otak manusia setelah terlebih dahulu memperoleh
masukan (input). Oleh karena itu, sering terjadi bahwa proses pemikiran itu
sangat tergantung kepada jumlah masukan yang dimiliki seseorang (seperti: penguasaan
tentang Al-Qur'an dan Sunnah, penguasaan bahasa Arab dan
perangkatnya, keluasan ilmu pengetahuan dan pengalamannya, dsb).
Makin kaya masukan, makin dalam proses pemikirannya. Proses pemikiran ini
sering juga disebut ijtihad.
Ijtihad
diambil dari kata ijtahada
- yajtahidu – ijtihadan, yang
artinya mengerahkan segala kesungguhan dan
ketekunan secara optimal untuk menggali dan menetapkan
suatu hukum (syara’) dari sumber Al-Qur`an dan Sunnah. Menurut Mukti Ali, 1990 pengertian ijtihad adalah berusaha
sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang sesuatu masalah
hukum.
Kesungguhan memahami sumber ajaran
Islam (Al-Qur`an dan Sunnah) dilakukan para mujtahid dengan jalan memahami apa
yang tersurat (teks) dan apa yang tersirat (konteks) dalam nash
(Al-Qur`an dan Sunnah) seraya pula memperhatikan jiwa, rahasia hukum, 'illat
(alasan atau sebab-akibat), dan unsur-unsur kemaslahatan yang dikandung kedua sumber
tersebut. Adapun yang menjadi objek ijtihad adalah yang tidak
berkaitan dengan aqidah dan ibadah.
Dasar, Kedudukan dan Fungsi Ijtihad/Rakyu
Ijtihad
merupakan keunikan yang spesifik dalam
ajaran Islam yang universal, sehingga penerapan hukum-hukum syara’ serta pengalihan hukum dan norma baru dapat
diselaraskan dengan situasi dan kondisi yang berlaku tanpa keluar atau
meninggalkan sumber pokoknya (Al-Qur`an dan As-Sunnah). Berbagai
masalah kontemporer yang muncul dewasa ini, yang
secara teknis belum didapati di dalam Al-Qur`an dan Sunnah, menempatkan
kedudukan ijtihad makin terasa penting.
Al-Quran
menghargai, menghimbau dan menyeru para pemikir (mujtahid) untuk mengerahkan
segala kemampuannya untuk memahami kitab suci Al-Qur’an
sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Di dalam QS. 59 (Al-Hasyr): 2 Allah menyatakan yang artinya:
Maka ambillah
(kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan
(QS.59:2).
Ayat tersebut
menyatakan, beri’tibarlah, berpikirlah, hai orang-orang yang berakal, patutilah
Al-Qur’an ini sebagai rahmat bagi manusia dalam menjalankan agama dengan
memperhatikan prinsip-prinsip dasarnya.
Syarat-Syarat Berijtihad
Para
ulama menetapkan beberapa syarat bagi orang yang hendak melakukan ijtihad, syarat-syarat tersebut adalah:
a. Mengetahui
nash Al-Qur`an dan Sunnah
b. Mengetahui
dan menguasai bahasa Arab
c. Mengetahui soal-soal ijma’
d. Mengetahui
ushul fiqih.
e. Mengetahui
nasikh dan mansukh.
f. Mengetahui
ilmu-ilmu penunjang lainnya.
Dari uraian
tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, sumber ajaran Islam
ada tiga (1) Al-Qur’an; (2) Sunnah/Hadis;
dan (3) Ijtihad/rakyu. Menurut Prof.H.Mohammad Daud Ali, guru
besar Hukum Islam Universitas Indonesia: (a) ketiganya merupakan satu rangkaian
kesatuan dengan urutan keutamaan yang telah mantap dan konsisten serta stabil,
tidak dapat diubah-ubah; (b) Al-Qur’an dan Sunnah/Hadis merupakan sumber utama,
sedangkan ijtihad/rakyu merupakan sumber tambahan atau sumber pengembangan yang
dihasilkan oleh para mujtahid.
Jenis-jenis
Ijtihad
·
Ijma' (kesepakatan) : Pengertian ijma adalah
kesepakatan para ulama untuk menetapkan hukum agama berdasarkan Al-Qur'an dan
Hadist dalam perkara yang terjadi. Hasil dari Ijma berupa Fatwa artinya
keputuan yang diambil secara bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang
untuk diikuti oleh seluruh umat.
·
Qiyas : Pengertian qiyas adalah
menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan hukum dalam suatu perkara baru
yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab,
manfaat, bahaya dan berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi
sama. Ijma dan Qiyas adalah sifat darurat dimana ada yang belum ditetapkan
sebelumnya.
·
Maslahah Mursalah : Pengertian maslahah mursalah adalah
cara menetapkan hukum yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan
manfaatnya.
·
Sududz Dzariah : Pengertian sududz dzariah adalah
memutuskan suatu yang mubah makruh atau haram demi kepentingan umat.
·
Istishab : Pengertian istishab adalah
tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang
mengubahnya.
·
Urf : Pengertian urf adalah tindakan dalam menentukan
masih bolehkah adat-istiadat dan kebebasan masyarakat setempat dapat berjalan
selama tidak bertentangan dengan aturan prinsipal Al-Qur'an dan Hadist.
·
Istihsan : Pengertian istihsan adalah
tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan adanya
suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Contoh
Ijtihad di Masa Kini
Salah satu contoh ijtihad yang sering
dilakukan untuk saat ini adalah tentang penentuan
1 Syawal, disini para ulama berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan argumen
masing-masing untuk menentukan 1 Syawal, juga penentuan awal Ramadhan.
Masing-masing ulama memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya, bila
telah ketemu kesepakatan ditentukanlah 1 Syawal itu.
Menyikapi Hasil Ijtihad/Rakyu
Ijtihad dapat
dilakukan secara individu, kelompok, atau oleh seluruh mujtahid. Dalam sejarah
ijtihad, masa kekhalifahan Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khathab ketika para
mujtahid dari kalangan sahabat belum berpencar keberbagai daerah Islam, ijtihad
seluruh para mujtahid dari para sahabat telah melahirkan kesepakatan tentang
sesuatu masalah hukum yang disebut ijma'. Mulai masa kekhalifahan Usman bin
'Affan setelah para mujtahid berpencar keberbagai daerah Islam, ijma' tidak
terjadi lagi. Karena itu hasil ijtihad para mujtahid dapat saja terjadi
perbedaan disebabkan oleh perbedaan tingkat pengetahuan, pengalaman, budaya
masyarakat dimana mujtahid hidup, kekhasan masalah yang diijtihadi, metode
ijtihad yang dipergunakan, dan lain sebagainya (A.Hanafi, Pengantar dan Sejarah
Hukum Islam : 52).
Menyikapi adanya perbedaan hasil
ijtihad tersebut bagi umat Islam yang tidak punya kompentensi untuk melakukan
ijtihad sendiri adalah :
a). Ittiba', yaitu melakukan kajian berbagai aspek ijtihad secara
komprehensif dari para mujtahid yang menghasilkan ijtihad yang berbeda-beda
tersebut. Kajian tersebut akan menghasilkan pengetahuan tentang hasil ijtihad
yang lebih kuat atau meyakinkan untuk diikuti. Orang yang melakukan kajian
ijtihad tersebut disebut muttabi'.
b). Muqollid, yaitu mengikuti hasil ijtihad ulama' mujtahid yang
diyakini kekuatannya tanpa melakukan kajian proses dan hasil ijtihad tersebut
bagi umat Islam yang tidak mempunyai kompetensi untuk melakukan kajian ijtihad.
Yang tidak diperbolehkan dalam Islam adalah taqlid buta, yaitu mengikuti hasil
ijtihad orang tanpa meyakini kekuatan hasil ijtihad tersebut. Biasanya taqlid
buta terjadi karena faktor-faktor yang tidak dibenarkan dalam Islam, seperti
faktor kultus dan ta'ashub atau fanatisme.
c). Menghargai hasil ijtihad lain yang tidak diikuti. Ijtihad tidak
mengandung kebenaran mutlak, tetapi kebenaran relatif karena dilakukan oleh
mujtahid yang tidak ma'shum, hanya Al-Qur'an dan Sunnah/Hadis yang mengandung
kebenaran mutlak. Apabila ijtihad didasarkan pada indikator-indikator yang
sifatnya situasional atau kondisional, maka dapat saja terjadi pada masa yang
sama terdapat ijtihad yang berbeda-beda, yang hanya tepat untuk situasi dan
atau kondisinya masing-masing, atau tepat pada masa tertentu tetapi pada masa
yang lain justru memerlukan ijtihad yang berbeda karena situasi atau kondisinya
berubah.
Sumber :
Buku Ajar
Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Agama Islam Universitas Indonesia
Komentar
Posting Komentar